Artikel · Berita · Kajian

SPIRITUALISME BERNEGARA MELALUI SISTEM DEMOKRASI DAN HAK KONSTITUSI


(Essay Persyaratan Lomba Debat Konstitusi Nasional Antar Pondok Pesantren “Membangun Kesadaran Demokrasi Dan Hak Konstitusi Warga Dalam Wadah NKRI” Di UIN SUKA Jogjakarta)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ. وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dianut oleh indonesia, yang mana mayoritas penduduknya beragama Islam. Akan tetapi sistem ini tidak diterima oleh semua orang Islam di Indonesia. Ada sebagian kelompok yang menolak adanya sistem demokrasi, mereka beranggapan bahwa hukum mutlak dikuasia oleh Allah al-Hakim melalui syariat Islam. Kendati demikian dalam syari’at Islam sendiri tidak dijelaskan secara tegas mengenai sistem bernegara yang benar. Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat antara cendikiawan muslim mengenai hukum sistem demokrasi hingga saat ini.

Sebagian kelompok berpendapat bahwa demokrasi merupakan sistem kufur muthlaq. Sebagian yang lain mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa dihukumi kufur muthlaq. Ada juga sebagian kelompok yang lebih condong ke arah liberalis yang berpendapat bahwa demokrasi adalah halal[1]. Belum terlepas dari hukum demokrasi menurut pandangan Islam, hak-hak konstitusional warga negara -terutama orang Islam- dan konstribusi warga dalam berdemokrasi juga perlu dipertegas kembali jika suatu negara menganut sistem demokrasi, meliputi hak pilih, hak berpendapat dan kewajiban membela negara.

Dengan permasalahan demokrasi yang bersinggungan dengan hukum Islam dan bersifat ideologi ini, maka bagi yang ingin menyelesaikan permasalahan ini harus diselesaikan melalui penjelasan dari hukum syari’at Islam.

SPIRITUALISME BERNEGARA MELALUI SISTEM DEMOKRASI DAN HAK KONSTITUSI

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang bebas. Karena definisi ini maka Abraham Lincoln, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan bahwa dalam proses demokrasi mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam memutuskan suatu permasalahan dan mengontrol pemerintahan yang berkuasa.[2] Dengan demikian rakyatlah yang memegang kendali pemerintahan dan memutuskan hukum yang berlaku di negara tersebut melalui wakil-wakil mereka di kursi parlemen, bukan hukum syari’at Islam yang menjadi patokan hukum.

Hal ini menyebabkan perbedaan pendapat cendikiawan muslim mengenai hukum sistem demokrasi. Dapat disimpulkan pendapat mereka menjadi tiga pendapat, yaitu;

Pertama, memandang demokrasi sebagai sistem kufur. Kelompok ini berpendapat bahwa demokrasi bertentangan syari’at Islam, Karena dengan sistem ini hukum manusia menduduki posisi tertinggi, bahkan diatas syariat Islam. Sedangkan secara langsung Allah berfirman “Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah :44)[3]   Ayat ini jika dilihat secara sekilas memang menyatakan bahwa orang yang menjalankan hukum selain hukum Allah adalah orang kafir, akan tetapi mengenai pentafsiran kata kufur sendiri masih terjadi pebedaan pendapat.

  • Thowus, kafir disini adalah kafir yang tidak menyebabkan keluar dari agama.

حدثنا الحسن بن يحيى قال، أخبرنا عبد الرزاق قال، أخبرنا الثوري، عن رجل، عن طاوس:”فأولئك هم الكافرون”، قال: كفر لا ينقل عن الملة[4]

  • Ibn Abas, Orang yang mengingkari hukum yang diturunkan Allah adalah kafir, sedangkan orang yang mengakui hukum Allah akantetapi tidak menjalankanya maka hukumnya fasik dan dzalim.

حدثني المثنى قال، حدثنا عبد الله بن صالح قال، حدثني معاوية بن صالح، عن علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس قوله:”ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون”، قال: من جحد ما أنزل الله فقد كفر. ومن أقرّ به ولم يحكم، فهو ظالم فاسقٌ[5]

  • Hasan, Ayat ini turun untuk orang Yahudi. Dan yat ini bagi kita wajib (dijalankan)

حدثني المثنى قال، حدثنا عمرو بن عون قال، أخبرنا هشيم، عن عوف، عن الحسن في قوله:”ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون”، قال: نزلت في اليهود، وهي علينا واجبةٌ[6].

  • Al Razi mengutip pendapat sahabat ‘Ikrimah dalam Tafsirnya. Sebagai berikut;

قَالَ عِكْرِمَةُ: قَوْلُهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِما أَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّمَا يَتَنَاوَلُ مَنْ أَنْكَرَ بِقَلْبِهِ وَجَحَدَ بِلِسَانِهِ، أَمَّا مَنْ عَرَفَ بِقَلْبِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ اللَّه وَأَقَرَّ بِلِسَانِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ اللَّه، إِلَّا أَنَّهُ أَتَى بِمَا يُضَادُّهُ فَهُوَ حَاكِمٌ بِمَا أَنْزَلَ اللَّه تَعَالَى، وَلَكِنَّهُ تَارِكٌ لَهُ، فَلَا يَلْزَمُ دُخُولُهُ تَحْتَ هَذِهِ الْآيَةِ،.

‘Ikrimah berpendapat. Bahwasanya hukum kafir bagi orang yang menetapkan hukum selain hukum yang diturunkan Allah, diturunkan kepada orang yang mengingkari hukum Allah dengan hati dan lisanya. Sedangkan orang yang masih meyakini hukum Allah dengan hati dan berikrar dengan lisanya, hanya saja ia melaksanakan kebalikan dari hukum tersebut, ia masih dikategorikan menghukumi dengan hukum yang diturunkan Allah, akan tetapi ia meninggalkanya. maka tidak termasuk dalam hukum ayat ini[7].

  • Abdul Aziz Bin Yahya Al Kinaniy berkata bahwa hukum ini berlaku bagi orang yang memutuskan hukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah secara keseluruhan-bukan sebagian hukum saja-, maka orang tersebut kafir

مَعْنَاهُ مَنْ أَتَى بِضِدِّ حُكْمِ اللَّه تَعَالَى فِي كُلِّ مَا أَنْزَلَ اللَّه فَأُولئِكَ هُمُ الْكافِرُونَ[8]

Sedangkan apabila seseorang masih menerapkan hukum tahuid dan meninggalkan kesyirikan, akan tetapi tidak menerapkan hukum syari’at maka tidak termasuk hukum dalam ayat ini.

  • Wahbah Al-Zuhaili menyimpulkan bahwa hukum pengkafiran ini berlaku bagi orang yang menghalalkan hukum selain hukum yang diturunkan Allah, mengingkari hukum Allah dalam hati,  dengan lisan, maka orang ini kafir. Adapun orang yang tidak menjalankan hukum yang diturunkan Allah maka dia salah dan berdosa dan fasiq.

والخلاصة: أن التكفير هو لمن استحل الحكم بغير ما أنزل الله، وأنكر بالقلب حكم الله، وجحد باللسان، فهذا هو الكافر. أما من لم يحكم بما أنزل الله، وهو مخطئ ومذنب، فهو مقصر فاسق[9].

Dari keseluruhan penafsiran para sahabat tersebut memang tidak ada yang menunjukan secara pasti mengenai hukum muthlaq kufur, karena perbedaan pendapat mereka, kebanyakan dari mereka tidak menghukumi kafir mutlaq. Akan tetapi dari semua tafsir tersebut juga tidak ada yang menunjukan kebolehan secara muthlaq. Hal ini memang menunjukan bahwa hukum yang seharusnya diterapkan yaitu hukum Allah melalui syari’at Islam seperti yang diyakini umat Islam. Karena hukum Allahlah yang paling benar dan baik.

Dalam ayat lain Allah Berfirman  “Telah jelas antara yang benar dan yang sesaat, maka barang siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, ia akan tetap berpegang teguh dengan tali ikatan yang sangat kuat yang tak akan terputus” (QS. Al Baqooroh:156)[10]. Ayat ini secara tidak langsung mengharuskan untuk menerapkan hukum Islam yang sudah jelas dan meninggalkan hukum taghut. Mengenai makna Thagut Wahbah Al-Zuhaili mengutip perkataan Ibn Qoyum Al-Jausiy yang berpendapat;

وعرف ابن القيم الطاغوت: بأنه ما تجاوز بهالعبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع، وقال: الطواغيت كثيرة، ورؤوسهم خمسة: إبليس لعنه الله، من عبد وهو راض، من دعا الناس إلى عبادة نفسه، من ادعى شيئا من علم الغيب، من حكم بغير ما أنزل الله.

 “Thagut bermakna melewatinya hamba pada batas-batas seorang hamba dalam hal sesembahan, orang yang diikuti dan orang yang ditaati. Taghut jumlahnya sangat banyak, dan puncaknya ada lima; 1) Iblis, 2) Orang yang disembah dan Ia Rela, 3) Orang yang mengajak orang lain untuk menyembahnya, 4) Orang yang mengajak kepada ilmu ghaib, 5) Orang yang memutuskan hukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah[11]. Dari penafsiran ayat ini kita dikembalikan lagi pada hukum Allah sebagai hukum muthlaq yang harus ditegakan. Memang apabila kita telaah lagi antara hukum positif yang dibuat manusia melalui system demokrasi, sangat jauh tingkat keefisiensianya dibandingkan dengan hukum-hukum syari’at Allah dalam menjawab kebutuhan dan permasalahan umat”.

Kedua, memandang sistem demokrasi adalah halal. Kelompok yang menganggap demokrasi adalah kelompok skularis yang memisahkan antara agama dan negara, mereka berangapan bahwa masalah agama dan negara tidak perlu dipadukan. Demokrasi yang dilakuakan tidak disandarkan pada akidah, ibadah dan syar’at lainya[12].

Ketiga, memandang sistem demokrasi tidak bisa dihukumi kufur secara muthlaq. Merujuk kembali pada ayat-ayat diatas beserta penafsiranya belum bisa dijadikan dasar hukum larangan system demokrasi secara muthlaq. Allah sendiri berfiraman “dan bermusyawarahlah kamu (Muhammad) didalam perkara”(QS. Ali Imron; 159)[13] dalam ayat ini Rasulullah diperintahkan langsung oleh Allah untuk bermusyawarah. Secara historispun Rasulullah sering melakukan musyawarah dengan para sahabat seperti dalam perang khandak, hudabiyah, perang badar dan juga ketika keluargan Nabi terkena fitnah dari hadits ifki untuk mentalaq istrinya[14]. Al-Qurtuby berpendapat bahwa ayat ini menunjukan kebolehan untuk berijtihad dan mengambil keputusan dengan prasangka walaupun masih mungkin adanya wahyu

وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ) يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الِاجْتِهَادِ فِي الْأُمُورِ وَالْأَخْذِ بِالظُّنُونِ مَعَ إِمْكَانِ الْوَحْيِ، [15]

Beliau juga mengutip pendapat dari Ibn Khuwaiz[16];

 وَقَالَ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادُ: وَاجِبٌ عَلَى الْوُلَاةِ مُشَاوَرَةُ الْعُلَمَاءِ فِيمَا لَا يَعْلَمُونَ، وَفِيمَا أَشْكَلَ عَلَيْهِمْ مِنْ أُمُورِ الدِّينِ، وَوُجُوهِ الْجَيْشِ فيما يتعلق بالحرب، وجوه والناس فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَصَالِحِ، وَوُجُوهِ الْكُتَّابِ وَالْوُزَرَاءِ وَالْعُمَّالِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِمَصَالِحِ الْبِلَادِ وَعِمَارَتِهَا.

“Wajib bagi pemegang kekuasaan untuk bermusyawarah kepada para ulama’ dalam perkara yang tidak ia ketahui dan yang mereka anggap sulit dari beberapa urusan agama, permasalahan tentara yang berkaitan dengan peperangan, permasalahan manusia yang berkaitan dengan kemaslahatan, dan juga sekretaris, mentri, dan pegawai-pegawai pada perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan negara dan kemajuanya.”

Hasan al-Bashry berkata “Allah tidak memerintahkan NabiNya untuk bermusyawarah karena Nabi Membutuhkanya, Akan tetapi Nabi memberikan pengertian kepada umatnya bahwa didalam musyawarah terdapat keutamaan, dan juga memberikan contoh kepada umat setelahnya”.

 Wahbah Al-Zuhaili menuturkan dalam Tafsir Al-Munir;

وشاورهم في أمور السياسة العامة ومصالح الأمة في الحرب والسلم، وكل شؤون المصالح الدنيوية

“ Rasulullah bermusyawarah dalam hal politik umum, kemaslahatan umat dalam peperangan dan salam dan juga beberapa perkara kemaslahatan dunia lainya”.[17]

Ibn Majah Juga menuturkan Hadist dari Rasulullah;

وَقَدْ قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ  عَنْ شَيْبَانَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمير، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

 المُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ” وَرَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ،”.

“Perkara yang dimusyawarahkan itu dapat dipercaya”(HR. Ibn Majah, Turmudzi dan ibu dawud)[18].

Melihat paparan hadits diatas dapat kita pahami bahwasanya keharaman demokrasi secara muthlaq belum bisa diterima, karena penafsiran ayat-ayat Al Quran maupun hadits malah menganjurkan untuk melakukan musyawarah, yang mana sistem demokrasi juga termasuk wadah dalam bermusyawarah di Indonesia. Walaupun harus disadari bahwa hukum syari’at Islam memang harus ditegakan, hukum Allah yang harus dijalankan. Dengan kondisi Indonesia sekarang yang telah menganut system demokrasi ini, sebaiknya dimanfaatkan untuk memasukan nilai-nilai syari’at Islam kedalam undang-undang negara. System demokrasi malah memberikan peluang lebih besar untuk memasukan nilai syariat Islam kedalam undang-undang, daripada harus mengganti system negara yang menerapkan hukum syariat Islam secara penuh. Penegakan negara Islam mungkin masih sangat sulit-bahkan tidak mungkin- untuk diwujudkan di Indonesia dengan suku, budaya dan agama yang berbeda-beda.

Dalam penerapan syari’at Islam dalam Al Quran pun tidak dilakukan secara langsung, akan tetapi melalu beberapa tahapan. Seperti dalam penerapan hukum minuman keras, Al Quran tidak secara langsung mengharamkanya, Al Quran lebih dulu memberikan pengertian mengenai dampak positif dan negative dari minuman keras, kemudian menjelaskan bahwa dampak negatifnya lebih besar, setelah kesadaran manusia mulai terbangun barulah Al Quran mengharamkan minuman keras. Begitu juga dengan penerapan syariat menjadi hukum positif di Indonesia, Tidak bisa dipaksakan secara langsung. Tetapi harus melalui tahapan-tahapan. Dikarenakan Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki system tersendiri, maka tahapan yang dilakukan harus sistematis pula. Yakni dengan memanfaatkan hak-hak konstitusi warga negara.

Hak konstitusional warga negara dalam bidang politik ada dua’ yakni hak untuk memilih atau dipilih dalam rangka Lembaga perwakilan rakyat. Hak inilah yang harus digunakan bagi warga negara untuk memperbaiki atau memajukan negara. Karena melalui pintu inilah hukum positif bersumber. Yang dari hukum-hukum ini kesejahteraan rakyat mampu terbangun. Cara menggunakan hak ini ada dua, pertama, mempersiapkan diri agar bisa menjadi pribadi yang unggul dan mampu menjadi wakil rakyat dalam merumuskan peraturan-peraturan yang selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa dan agama. Jika cara pertama tidak memungkinkan maka menggunakan cara kedua, yakni memilih wakil rakyat yang mempunyai kompeten dan kapasitas untuk memajukan bangsa dan agama. Karena dengan dua acara inilah kesejahteraan dapat tercapai, dan juga nilai-nilai syari’at islam mampu masuk kedalam hukum positif yang berlaku. Jika dikorelasikan dengan kaidah fikih maka memenuhi hak kostitusional ini menjadi wajib. Karena hukum menegakan syariat Islam hukumnya wajib, dan penegaan hukum ini bisa tercapai hanya dengan menjalankan hak konstitusional tersebut yakni dipilih atau memilih wakil rakyat. “maa la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”.  Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang baik dalam beragama dan bernegara.

Kesimpulan

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang bebas.

Demokrasi menurut pandangan Islam belum ada kepastian hukumnya. Terdapat tiga pandangan hukum, pertama, haram muthlaq, kedua boleh secara muthlaq, ketiga, diperbolehkan sebagai wadah penerapan nilai-nilai Islam. Akan tetapi menurut pendapat penulis, hukum system demokrasi diperbolehkan, dikarenakan dalil-dalil yang ada lebih mengacu pada dianjurkanya bermusyawarah. Sedangkan di Indonesia wadah untuk bermusyawarah dalam pembuatan peraturan negara melalui system demokrasi. Yakni rakyat menyampaikan aspirasi mereka melalui wakil yang mereka pilih untuk membentuk peraturan perundang-undangan.

Sebagai warga negara -terutama umat Islam- hukumnya wajib ikut berdemokrasi, dengan menggunakan hak konstitusi politik sebagai warga negara. Yaitu menyiapkan diri untuk menjadi pribadi yang layak dipilih menjadi wakil rakyat, atau memilih wakil rakyat yang mempunya kapasitas dan kompeten sebagai perwakilan dalam perumusan hukum positif di Indonesia. Karena menegakan hukum yang benar itu wajib, dan hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan menggunakan hak konstitusi warga, maka hukumnya pun menjadi wajib.

Daftar Pustaka

  • Al Quran Karim
  • Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,(Maktabah Shamela Online).

http://shamela.ws/browse.php/book-1198

  • Abu Dawud, Sunan Abi Dawud,(Maktabah Shamela Online).

http://shamela.ws/browse.php/book-1726

  • Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi,(Maktabah Shamela Online).

http://shamela.ws/browse.php/book-7895

 http://shamela.ws/browse.php/book-8473

  • Muinudinillah Bashri, Hukum Denokrasi Dalam Islam, (Risalah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Muhamadiyyah Surakarta).

 https://anzdoc.com/hukum-demokrasi-dalam-islam.html

  • Sadek J. Sulaiman, “Demokrasi dan Shura,” dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulumdan Heri Junaedi (Jakarta: Paramadina, 2003),.

[1] Lihat Muinudinillah Bashri, Hukum Denokrasi Dalam Islam, (Risalah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Muhamadiyyah Surakarta). https://anzdoc.com/hukum-demokrasi-dalam-islam.html

[2] Sadek J. Sulaiman, “Demokrasi dan Shura,” dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulumdan Heri Junaedi (Jakarta: Paramadina, 2003), 125.

[3] Al Quran Karim (QS. Al Maidah :44)

[4] Al-thobariy, jami’ Al-Bayan,(Maktabah Shamela Online). Jilid 10 Hal. 356. http://shamela.ws/browse.php/book-43/page-5617#page-5621

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Al-Razi, Tafsir Mafatihul Ghoib/Tafsir AlRazi,(Maktabah Shamela Online). Jilid 12. Halaman 368. http://shamela.ws/browse.php/book-23635#page-2031

[8] Ibid.

[9] Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir. ,(Maktabah Shamela Online) jilid 6. Halaman 207. http://shamela.ws/browse.php/book-22915#page-1900

[10] Al Quran Al Karim (QS. Al Baqooroh:156)

[11] Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir. ,(Maktabah Shamela Online) jilid 3. Halaman 26. http://shamela.ws/browse.php/book-22915#page-779

[12] Lihat Muinudinillah Bashri, Hukum Denokrasi Dalam Islam,

[13] Al Quran al-Karim (QS. Ali Imron; 159)

[14] Lihat keterangan Ibn Katsir dalam Tafsir Ibnu katsir pada QS. Ali Imron; 159. http://shamela.ws/browse.php/book-8473#page-1017

[15] Al-Qurtubiy, Tafsir Al-Qurtubiy, ,(Maktabah Shamela Online) Jilid 4 Halaman 250. http://shamela.ws/browse.php/book-20855#page-1593

[17] Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir. ,(Maktabah Shamela Online) jilid 4. Halaman 140. http://shamela.ws/browse.php/book-22915#page-1185

[18] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (No. 3745). Abu Dawud,  Sunan Abi Dawud (No. 5128). Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi (No. 2370, 2369).

 

Tinggalkan komentar